Gua Pindul

GUNUNGKIDUL tak hanya memiliki pantai-pantai elok dan gua-gua indah di kawasan karst di selatan kabupaten ini. Di dataran tengah, tepatnya di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, ada objek wisata alam tak kalah eksotisnya.
Gua Pindul namanya. Panjang gua yang merupakan alur sungai bawah tanah ini sekitar 300 meter, lebar 5 meter, dan tinggi dari muka air ke langit-langit gua sekitar 4 meter. Kedalaman air sungainya bervariasi antara 4-7 meter.
Koordinator Pemandu Wisata Goa Pindul Subagiyo (53) mengatakan, gua ini konon memiliki kaitan dengan sejarah kerajaan Mataram Kuno. Gua ini baru diresmikan sebagai objek wisata alam oleh almarhum Sumpeno Putro, Bupati Gunungkidul pada 4 Oktober 2010.
Letaknya mudah dijangkau. Hanya sekitar 10 kilometer arah timur laut Woonosari, ibukota Gunungkidul. Gua ini semula hanya dikenal sebagai objek wisata dan memancing oleh warga setempat, dan sebagian kecil warga luar desa.
“Zaman dulu di mulut gua sering digunakan berenang anak-anak kecil, dan warga di sini mencari kelelawar di dalam menggunakan batang pohon pisang dan obor,” ujar Subagiyo mengawali ceritanya.
Pengelola objek wisata ini telah menyiapkan perangkat renang dan selam yang lumayan memadai, termasuk lampur penerang portabel jika pengunjung ingin merasakan sensasi di dalam lorong gua. Wartawan Tribun mencoba mencicipi langsung suasana wisata petualangan alam ini.
Pengelola menyiapkan pelampung dari ban bekas, sepatu karet, helm berikut lampu sorotnya. “Ini buatan kita sendiri, dan standarisasinya sudah teruji,” kata Suratmin (39), Ketua RT Dusun Gelaran yang juga jadi pemandu.
Enam pemandu yang dipimpin Subagiyo langsung menuju mulut goa Pindul, yang airnya jernih dan berwarna kehijauan, karena pantulan dari pepohonan yang ada di tebing-tebing di sekitarnya.
Sebelum masuk gua, Suratmin terlebih dahulu memimpin doa. “Kita berdoa agar semuanya diberikan keselamatan, dan bersyukur atas karunia Tuhan ini,” katanya serasa mengajak semua yang ada di lokasi itu diam berdoa.
Air yang mengalir tenang membawa ban yang ditumpangi berjalan perlahan masuk ke arah mulut gua. Ornamen-ornamen layaknya lukisan yang sulit diterjemahkan, tergores di dinding-dinding lorong yang dibentuk oleh alam itu.
Semakin ke dalam, stalagtit dan stalagnit unik berbagai ukuran menyambut kedatangan pengunjung.  Warna hijau, kuning, dan abu-abu, menghias di dinding-dinding dalam gua saat terkena sinar lampu senter.
“Yang itu mirip tulang kaki, dan yang itu seperti mangkok,” teriak Suratmin sambil mengarahkan telunjuknya ke beberapa stalagnit dan stalagtit yang membuat kagum dirinya, walaupun ia sebagai pemandu.
Kelelawar banyak bergelantungan dan beterbangan di dalam lorong gua, entah binatang malam itu merasa terganggu atau menyambut kedatangan pengunjung.
Mendekati pintu keluar, pandangan menakjubkan akan menghadang perjalanan. Langit gua setinggi sekitar sepuluh meter, terdapat lubang sekitar tiga meter kali satu meter, yang membuat sinar matahari terlihat seperti sorot lampu senter.
Sebagai pemandu senior, Subagiyo memahami setiap jengkal gua Pindul. “Dulunya tidak berlubang. Gempa beberapa tahun lalu membuat langit-langit gua runtuh,” ungkapnya.
Tidak terasa perjalanan akan berakhir. Pintu keluar gua sudah terlihat. Stalagnit mirip jantung yang masih meneteskan air, menutup perjalanan itu.
“Setelah penyusuran gua Pindul selesai, pengunjung akan mendapat bonus hidangan bakso dan teh rosela yang mempunyai cita rasa khas,” kata Suratmin.
Retribusi wisata alam Goa Pindul tersebut hanya sebesar Rp 30.000, sudah termasuk pemandu, ban atau pelampung, sepatu karet, bakso dan teh rosela. Cukup murah kan! Silakan nikmati senasi gua Pindul jika tak percaya! (*)

Potensi wisata Bejiharjo terbengkalai

Potensi pariwisata di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo masih terbengkalai. Objek wisata yang biasa dikunjungi warga terlihat kotor dan perlu mendapat sentuhan dari pemerintah.

Sebenarnya banyak objek wisata yang bisa dimanfaatkan untuk digarap dan mendatangkan pengunjung dari luar daerah. Tetapi perhatian dari pemerintah kabupaten belum ada khususnya untuk melakukan pengembangan objek wisata.

Warga Desa Bejiharjo, Subagyo mengatakan objek wisata alam ada di berbagai tempat tapi karena belum tergarap dengan baik sehingga pengunjung belum banyak mengetahui.

Di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo ada dua goa yang bisa digunakan untuk objek wisata minat khusus maupun keluarga yakni goa Pindul yang menghubungkan Banyumoto dan goa Gelatik.

Goa Pindul adalah goa yang dilewati air bawah tanah sepanjang kurang lebih 500 meter yang terhubung dengan bendungan Kali Banyumoto. Sedangkan goa Gelatik masih belum tersentuh karena pintunya yang sangat kecil yang hanya bisa dilalui dengan cara merangkak tetapi di dalam goa terdapat ruang yang luas. Di lokasi lain ada situs manusia purba, wayang geber, pemancingan dan rumah makan.

“Di sini sangat potensial sekali banyak obyek yang bisa dimanfaatkan, belum ada yang mengadakan paket wisata untuk mendatangkan pengunjung kesini,” kata Subagyo saat ditemui Harian Jogja, Senin (31/5).

Tidak jauh dari goa juga terdapat monumen Sudirman yang bercerita mengenai perjuangan Jenderal Besar itu saat gerilya di Gunungkidul dan dihancurkan oleh Belanda.

Namun monumen yang berada di atas bukit tersebut kurang terawat bahkan anak tangga yang menjadi akses sudah banyak yang rusak. Monumen dan prasasti hanya menjadi tempat corat-coret pengunjung.

Terpisah Kepala Desa Bejiharjo, Yanto mengatakan telah berupaya untuk koordinasi dengan dinas terkait untuk mengelola pariwisata di daerahnya. Apalagi saat ini sudah banyak bermunculan pemancingan yang dibuka warga untuk rekreasi yang bisa menjadi pilihan.

“Sudah saya sampaikan ke Dinas [Disbudpar], tapi belum ada dana jadi belum ditindak lanjuti. Kami berharap potensi [pariwisata] yang ada bisa dimanfaatkan, tidak jatuh ke tangan orang lain,” kata dia.

Menurut Yanto, jika dikelola oleh desa sangat tidak memungkinkan karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) Desa Bejiharjo hanya Rp40 juta. Sedangkan PNPM Pariwisata dari pusat juga belum menyasar desa terbesar di kabupaten Gunungkidul tersebut dengan 20 pedukuhan.

Rata-rata pengunjung yang ada hanya masyarakat sekitar yang hanya menjawab rasa ingin tahu. Objek wisata yang ada jaraknya berdekatan, tapi karena akses belum terbentuk dengan baik sehingga pengunjung hanya memilih datang ke rumah makan yang ada pemancingannya.

Oleh Akhirul Anwar
HARIAN JOGJA

Profil Kcamatan Karangmojo

KONDISI GEOGRAFI
Kecamatan Karangmojo merupakan salah satu Kecamatan dari

18 Kecamatan di Kabupaten Gunungkidul yang terletak

paling ujung barat-utara dengan batas wilayah:

Utara : Semin
Timur : Ponjong
Selatan : Semanu
Barat : Wonosari

sumber : gunungkidulco.id

Sejarah Sokoliman

Dikutip dari Buku Babad Sokoliman
Kerya M. Hariwijaya, dkk

Surya arsa madangi jagat
duk mungup-mungup aneng sapucaking wukir
marbabak bang sumirat, kena soroting surya mega
lan gunung-gunung.

Pusaka Budaya Bangsa
Sebelum menjadi dusun Sokoliman seperti sekarang, daerah Sokoliman pada awalnya masih berupa hutan belantara. Namun dari penelitian yang dilakukan oleh Badan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Yogyakarta berdasarkan peninggalan-peninggalan yang ada, dahulu diperkirakan sudah ada kehidupan.
Menurut buku Mozaik Pusaka Budaya Yogyakarta yang diterbitkan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, di sekitar Cekungan Wonosari, termasuk Sokoliman, telah ada pemukiman penduduk sejak zaman madya maupun zaman muda. Zaman madya terjadi pada masa ± 2000 tahun sebelum Masehi, yaitu pada zaman batu besar atau Megalitikum. Sedangkan zaman muda terjadi ± 1000 tahun sebelum Masehi sampai akhir masa prasejarah di abad ke-4 Masehi. Zaman muda disebut juga zaman perundagian, karena manusia sudah mengenal alat-alat dari besi dan sudah tinggal menetap dengan cara mengembangkan pertanian.

Patung-patung dari Situs Sokoliman yang telah berusia lebih dari 4000 tahun,
menandakan bahwa Desa Sokoliman telah dihuni penduduk pada zaman Purba.

Bukti Peninggalan Sokoliman Purba
Adapun bukti-bukti bahwa daerah Sokoliman pada masa purba telah dihuni oleh manusia yaitu berupa kubur batu, arca, batu tegak, punden berundak, petirtaan, reruntuhan candi, tempat pemujaan, manik-manik serta artefak-artefak terakota. Yang paling menonjol adalah ditemukannya batu tegak atau menhir di tanah lapang Sokoliman. Batu tersebut diperkirakan sebagai tempat pemujaan orang-orang pada zaman itu atau juga sebagai simbol dari kekuasaan seseorang atau simbol kejadian-kejadian tertentu yang tidak biasa seperti perang. Jumlah batu yang ditemukan kurang lebih 140 buah, dengan lima di antaranya lebih besar dari yang lain. Lima batu yang besar ini disebut Saka Lima yang artinya lima tiang dan ditengarai sebagai asal mula nama Sokoliman. Sebagian sudah dipindahkan dan disatukan dengan kubur batu dan sisanya masih terkubur di tanah lapang.

Salah satu batu tegak yang masih dalam posisi berdiri di kebun penduduk.
Gambar kedua merupakan batu tegak dari alun-alun Sokoliman yang telah dikumpulkan di Situs.

Kedua, berupa arca kepala megalitik yang ditemukan di sekitar kubur batu dan di sekitar alun-alun. Patung tersebut dipahat dengan polos yang menunjukkan ciri-ciri zaman purba sebagai simbol roh nenek moyang. Patung tersebut tanpa hiasan kalung, anting, pakaian kebesaran, hiasan mahkota, sabuk dan sebagainya. Alat yang digunakan untuk membuat patung berupa kapak lonjong, kapak perimbas dan batu cadas pipih. Patung demikian dikenali oleh para ahli purbakala sebagai peninggalan prasejarah.
Dalam konsep agama Budha, patung yang polos tanpa hiasan, sebagaimana patung di Candi Borobudur, menunjukkan kesempurnaan hidup manusia. Manusia lahir tanpa membawa pakaian dan perhiasan apapun, demikian pula ia akan menghadap Tuhan tanpa membawa embel-embel keduniaan, kecuali ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama Hindu dan Budha memang telah masuk ke Jawa sejak sebelum atau awal masehi melalui tokoh-tokoh politik dan ruhaniawan dari India.

Ciri khas patung batu dari zaman Sokoliman Purba :
berbentuk manusia tanpa tangan, polos dan sederhana.

Ketiga, peninggalan yang berupa kubur batu. Kubur batu ini terletak di sebelah barat daya alun-alun, kurang lebih 300 m, tepatnya di Nginong, Mbangkan. Kubur batu ini merupakan tempat untuk mengubur jenazah yang terbuat dari beberapa lempengan batu dengan formasi 2 di bagian samping kanan kiri, 1 di bagian atas dan 1 di bagian bawah. Menurut laporan penelitian Balai Arkeologi pada tahun 1982, 1989, dan 1995, posisi jenazah kepala menghadap timur laut dan kaki menghadap barat daya. Sementara itu, bekal kubur yang ditemukan antara lain anting-anting, gelang tangan, dan gelang kaki. Kompleks kuburan kuno ini disebut warga sekitar sebagai kuburan Budha.

Nisan batu yang merupakan ciri khas makam Zaman Prasejarah. Peragaan lengkap mengenai cara pemakaman dan makna simbol lihat di Museum Sonobudoyo Yogyakarta.

Pada agama purba, setiap orang meninggal selalu dibuatkan patung sebagai simbol ruhnya yang abadi. Patung tersebut ditanam di dekat kubur batu dan di hadapan patung tersebutlah ahli warisnya melakukan sesaji dan berdoa.

Batu yang ditakik dari Kubu Batu di Sokoliman.
Patung kepala sebagai simbol ruh nenek moyang.

Ciri khas kubur batu Sokoliman adalah menggunakan sistem takikan, yang berfungsi untuk menguatkan susunannya. Hal ini tidak terjadi pada kubur batu yang ditemukan di kota lain seperti Tuban, Bojonegoro dan Kuningan di Jawa Barat. Artinya, Wonosari Kuno telah mengenal teknologi yang lebih maju dibanding dengan daerah lain. Akan tetapi mungkin tidak ditemukan kubur batu yang lengkap dari sekitar 22 kubur batu yang ada di Sokoliman. Jika ingin melihat replika yang lengkap, dapat mengunjungi Museum Sonobudoyo di Yogyakarta.

Replika Kubur Batu Gunungkidul di Musium Sono Budoyo

Keempat, punden berundak : terletak di sebelah utara kubur batu kurang lebih sekitar 500 m, berdekatan dengan sumber air yang terkenal dengan sebutan Sumur Gedhe. Punden berundak ini berfungsi sebagai tempat pemujaan. Pada salah satu sisi bagian sebelah barat terdapat prasasti berupa lempengan batu dengan ukuran lebar 60 cm, tinggi 30 cm dan tebal 10 cm. Namun sayangnya, belum sampai prasasti tersebut terbaca sudah hilang dicuri tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab.
Kelima, peninggalan berupa kompleks Sumur Gedhe kurang lebih 300 m di sebelah barat alun-alun. Sumur Gedhe yang luasnya sekitar 60 x 60 m2 ini merupakan petirtaan kuno yang didesain sebagai tempat mengambil air, mandi, mencuci, memberi minum binatang piaraan dan sebagainya. Sumur ini berusia sama dengan kubur batu yang digunakan oleh manusia Sokoliman Purba. Di sekitar Sumur Gedhe ini dahulu terdapat beberapa Watu Lesung yaitu batu yang berwujud mirip lesung, yang biasa digunakan untuk tempat minum lembu, kambing atau kuda. Kompleks ini belum ditetapkan sebagai situs dan belum terawat dengan baik, padahal justru kompleks ini yang menurut hemat penulis paling menarik sebagai tempat wisata.

Situs Sumur Gedhe berada di sebelah barat alun-alun Sokoliman.
Adalah sebuah sumur berukuran 4 x 4 meter beserta bekas pemandian umum
merupakan bangunan kuno yang telah berusia lebih dari seribu tahun.

Sumur Gedhe sampai saat ini terlindungi oleh beberapa pohon, salah satunya adalah pohon Epek raksasa. Di samping Epek tersebut, terdapat sebuah pohon Soka, yang menurut sebagian kalangan merupakan pohon yang disucikan dan ditengarai juga sebagai asal mula kata Sokoliman. Anehnya pohon-pohon ini dari tahun ke tahun hampir tidak menunjukkan perkembangan yang berarti sehingga ukurannya sama saja. Sampai kini Sumur Gedhe masih menyimpan air yang tidak kering hampir sepanjang tahun. Pada sudut timur laut, terdapat padupan yang disebut Mbah Manto Pawiro, penjaga Situs Sokoliman sebagai Watu Jeli. Fungsinya adalah sebagai tempat pemujaan. Bentuknya berupa rumah-rumahan kecil yang terbuat dari batu-batuan. Tanah di Sumur Gedhe ini tidak ada yang memilikinya secara pribadi sehingga terjaga. Apalagi dengan suasananya yang wingit, membuat kompleks ini lebih aman dari campur tangan yang tidak diperlukan.

Padupan atau Watu Jeli di sudut Sumur Gedhe sebagai tempat pemujaan.
Kini dihuni oleh manuk gemak atau burung puyuh, sehingga dikenal dengan nama omah gemak.

Pohon Epek dan Soka di jantung Sumur Gedhe,
menjadi saksi sejarah lahirnya Desa Sokoliman.

Keenam, merupakan reruntuhan candi kuno. Terletak di pinggir hutan kesambi yang dikenal sebagai kompleks Watu Lumbung. Di samping batuan besar yang mirip lumbung, terdapat reruntuhan candi yang lumayan besar. Candi ini terbuat dari bebatuan putih dan berusia agak muda. Cirinya adalah adanya patung yang mendekati ciri-ciri arca Durga Mahisa Suramardini, dewa Hindu yang mengendarai lembu. Ukuran lembu tersebut sepanjang 15 cm, dan patungnya yang kini sudah hilang, diperkirakan tiga kali lebih panjang.

Padepokan Pendita Durna
Temuan benda arkeologis di Sokoliman yang lain berupa kapak batu, kapak besi dan terakota. Hal ini sejenis dengan temuan pada 24 situs kuno di Gunungkidul yang 22 di antaranya berada di Cekungan Wonosari seperti Situs Gunungbang, Gondang, Nglemuru, Ngasinan, Ngawis, Gedangan, Wiladeg, Karangduwet, Jatiayu dan Munggur di Kecamatan Karangmojo. Situs Wonobudho, Bleberan, Playen, Kali Beji, Gading dan Plembutan di Kecamatan Playen. Situs Candi Risan dan Situs Sungai Oya di kecamatan Semin, serta Situs Kepil, Wareng, Kajar, di kecamatan Wonosari.
Penemuan beberapa alat-alat dari besi menunjukkan manusia pada masa tersebut telah mengenal teknologi pembuatan dan pengolahan besi, meskipun sederhana. Berarti manusia pada zaman itu bukan lagi manusia nomaden yang hidup berpindah-pindah, sebaliknya telah mengembangkan perumahan dan bertani, meski tidak meninggalkan kegemaran berburu binatang sama sekali. Secara sosiologis, Max Weber mengatakan aktivitas pertanian merupakan cikal-bakal manusia modern.
Oleh karena adanya data-data arkeologis demikian, di Sokoliman ini dulu diduga sebagai sebuah desa yang cukup besar dengan tanah pertanian yang subur. Sedangkan di sekitar alun-alun merupakan aktivitas ritual, ditandai adanya mitos Padepokan Pendita Durna yang masih melekat di masyarakat sampai saat ini. Meskipun padepokan kuno ini sulit dibuktikan secara akademis, namun mitos yang berkembang di masyarakat tentu ada alasan-alasannya yang rasional maupun irasional, sebagaimana kata pepatah bahwa ada asap ada api. Mitos sebagai asapnya, sedangkan kenyataan yang pernah ada pada masa lampau sebagai titik apinya. Untuk itu, penulis mencoba perlu untuk merekonsruksi padepokan kuno tersebut sebagai gambaran awal tentang pentingnya melacak jejak sejarah ini.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa yang terjadi di masa lampau lebih terang jika terdapat batu tulis atau prasasti. Sayangnya, adanya benda arkeologis yang berupa prasasti diduga telah dicuri orang sehingga tidak ada petunjuk yang lebih gamblang untuk mengungkap misteri tersebut. Oleh sebab itu, para arkeolog dari Universitas Gadjah Mada maupun Balai Kajian Sejarah dan Purbakala Yogyakarta yang telah beberapa kali melakukan ekskavasi, berbeda pendapat dalam menyimpulkan angka tahun adanya pemukiman kuno ini. Akan tetapi, yang pasti adalah bahwa mereka telah mengenal pertanian, pemujaan ruh nenek moyang dan juga mengenal alat-alat dari besi yang merupakan ciri khas perundagian, yang kurang lebih terjadi tahun 2000 Sebelum Masehi hingga awal masa prasejarah pada abad ke-4 Masehi.
Di Gunungkidul juga banyak ditemukan peninggalan jaman prasejarah yang lebih tua lagi, yaitu pada situs gua-gua prasejarah. Kawasan karst Gunung Sewu atau bagian selatan Pulau Jawa, gua-gua di kawasan ini telah menjadi hunian manusia sejak 10.000 tahun yang lalu. Terbukti ditemukan peninggalan di Gua Braholo, Song Banyu, serta gua-gua di Pacitan, Ponorogo, Tulungagung, dan Jember. Dari kerangka manusia atau peninggalan tersebut diperkirakan adalah ras Austronesia, nenek moyang masyarakat Jawa sekarang ini. Situs gua ini menunjukkan keberadaan manusia purba yang masih tinggal di gua-gua dan hidup dari berburu dan meramu.
Menurut Von Koeningswald, yang meneliti Gunungkidul pada tahun 1935, temuan-temuan kerangka binatang jenis Tapirus dan Rhinoceros di gua-gua Gunungkidul berasal dari zaman Plestosin Tengah. Gunungsewu pada saat itu merupakan kawasan basah yang berhutan lebat. Dan tidak heran, bahwa jenis tumbuhan yang besar pun masih banyak ditemukan di dasar-dasar luweng besar, seperti misalnya di Luweng Jomblang, Desa Pacarejo, Semanu. Di beberapa gua, para peneliti masih sering menemukan kerangka binatang, tinggal menunggu para ahli arkeologi untuk mengungkap jenis dan menentukan umurnya.
Kembali ke desa Sokoliman, dalam kisah wayang purwa yang sangat digemari warga Sokoliman, terdapat Pandita Durna yang tinggal di pertapan Sakalima atau Sukalima. Gelar yang disandang sang begawan adalah dang hyang Durna, artinya orang yang dekat dengan dewa. Sementara para dewa di kahyangan disebut dengan gelar sang hyang. Dang hyang dalam sebutan masyarakat lokal menjadi danyang. Danyang diartikan sebagai tokoh yang pertama kali membuka alas dan bertempat tinggal di suatu wilayah sehingga menjadi cikal-bakal seluruh penduduk di wilayah tersebut.
Pertanyaan berikutnya adalah kapan musnahnya pemukiman ini dan apa sebabnya. Beberapa teori menyebutkan kemusnahan desa Sokoliman Purba disebabkan oleh peperangan, sebagaimana ditemukannya beberapa artefak alat-alat perang di sebelah timur laut desa Sokoliman. Teori kedua mengatakan bahwa musnahnya pemukiman purba ini karena bencana kelaparan atau banjir besar Kali Oya. Hal ini ditengarai dengan banyaknya temuan benda arkeologis di bantaran sungai Oya. Mungkin benda-benda milik penduduk terkikis oleh banjir yang melanda kawasan itu. Demikian juga penduduknya banyak yang mati dan melarikan diri. Akan tetapi, mengapa kemudian tidak kembali lagi menempati desa itu lagi?
Untuk pertanyaan terakhir ini mudah dijawab, karena pada kepercayaan kuno yang sudah turun-temurun yang intinya jika di suatu wilayah, telah terjadi sebuah musibah yang menghancurkannya hingga binasa, maka daerah itu dipercaya tidak baik untuk ditempati lagi karena sulit untuk mendapatkan kemakmuran sebagaimana yang telah dicapai sebelum bencana. Sebagai contoh, setiap kerajaan Jawa hancur entah oleh musibah alam atau peperangan, mereka membangun istana kerajaan baru di wilayah lain. Misalnya saat kota Mataram Kuno di sekitar Prambanan-Borobudur hancur akibat bencana gunung berapi pada tahun 1006, mereka pindah ke Jawa Timur dan mendirikan kerajaan Medang-Kahuripan. Demikian pula saat Kraton Mataram di Pleret-Bantul dihancurkan oleh pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677, maka Sunan Amangkurat kemudian memindahkannya ke Wonokerto yang kini dikenal dengan nama Kartasura. Demikian pula saat Kartasura hancur akibat Geger Pacinan pada tahun 1742, maka Sunan Paku Buwono memindahkan istana ke desa Solo dan sampai saat ini dikenal dengan nama Kraton Surakarta Hadiningrat.
Alkisah, berabad-abad kemudian, desa Sokoliman Purba ini telah menjadi hutan belantara dan disebut Alas Sokoliman yang gung liwang-liwung, gawat keliwat-liwat, jalma mara jalma mati. Pohon-pohon besar dan binatang hutan bersemayam dengan aman dan nyaman. Yang terdengar kemudian hanyalah bunyi ayam alas berkokok, geram macan tutul, serta makhluk-makhluk halus yang berpesta di malam sepi.

Asal Mula Nama Sokoliman
Dari uraian di atas, tersirat beberapa asal mula nama desa Sokoliman. Pertama, berasal dari kata soko yang artinya batu tegak atau tiang, yang berjumlah lima. Maka soko + lima digabung menjadi kata Sokoliman. Adapun batu tegak seperti tiang tersebut dahulu terdapat di alun-alun Sokoliman. Mengenai jumlahnya, sebagaimana paparan di muka, lebih dari 140 buah. Diperkirakan, terdapat 5 buah yang jauh lebih besar dari yang lain dan letaknya membentuk segilima.
Kedua, berasal dari kata soko dan liman. Liman di sini berasal dari bahasa Sansekerta artinya gajah. Jadi terdapat tiang yang sebesar gajah. Namun analisis ini sedikit mengaburkan fakta tentang jumlah batu besar yang lima.
Ketiga, kata Sokoliman berasal dari nama soka + lima. Soka di sini mengacu pada nama pohon, bukan batu tiang. Analisis ini juga masuk akal mengingat di Sokoliman terdapat pohon khas yang sangat langka, yakni pohon Soka. Adapun mengenai jumlahnya bisa jadi dahulu berjumlah lima, namun karena merupakan peninggalan hidup atau ekofak, maka mungkin mengalami kepunahan dan kini tinggal satu buah yang paling langka, yakni yang terdapat di Sumur Gedhe.
Namun, entah nama Sokoliman berasal dari kata apapun, dan telah berapa generasi pun yang musnah-berganti sebagai penghuni desa ini, satu hal yang tetap abadi adalah semangatnya untuk berjuang menghadapi alam kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Pemujaan terhadap ruh nenek moyang di zaman purbakala, penyembahan terhadap dewa-dewa di zaman Hindu-Buda, dan sembahyang lima waktu para pemeluk agama Islam, pada hakikatnya merupakan pengabdian diri sebagai makhluk di hadapan Sang Khalik. Agama tauhid yang datang di belakang hari di desa ini, telah meluruskan akidah dan jalan hidup menuju kehidupan yang bahagia dunia akherat. Amin!

Su8mber : http://bethetan.blogspot.com

Situs Megalitik Sokoliman

situs Sokoliman, Karangmojo, Gunungkiudl, DIY

Terletak di Dusun Sokoliman Desa Bejiharjo Kecamatan Karangmojo. Situs ini terbentuk pada periode prasejarah berupa menhir, fragmen menhir dan dinding kubur batu. Tahun 1934 Jl Moens dan Van der Hoop mengadakan penelitian di Situs Sokoliman dengan menemukan bekal kubur yang berbentuk manik-manik, alat-alat besi, fragmen gerabah dan benda-benda perunggu. Tahun 1989 BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Provinsi DIY melakukan pembenahan mengumpulkan menhir yang berserakan dan masyarakat sekitar menyebut peninggalan megalitikum ini dengan nama Kuburan Budho. Dalam masa megalitik menhir merupakan perwujudan tokoh masyarakat yang telah meninggal dunia selain itu juga berfungsi sebagai medium pemujaan kepada roh nenek moyang. Budaya megalitik Sokoliman mempunyai keistimewaan terutama pada menhirnya, yaitu pada bagian atas dipahat raut muka manusia.

Situs ini terdiri dari Arca, Menhir, Kubur Batu, dan kumpulan batu-batu lainnya dari Zaman Megalitikum (± tahun 2000 SM), dimana saat itu sudah ada pemukiman penduduk. Bukti-bukti yang ada seperti kubur batu, arca, batu tegak/menhir, punden berundak, petirtaan, reruntuhan candi, tempat pemujaan, manik-manik serta artefak-artefak. Menhir ditemukan di tanah lapang Sokoliman. Batu tersebut diperkirakan tempat pemujaan manusia pada masa itu dan simbol kekuasaan atau kejadian tertentu, misalnya perang. Jumlah batu yang ada sekitar 140 buah. Lima diantaranya lebih besar dari yang lain, dan ini disebut Saka Lima yang artinya tiang yang jumlahnya lima serta ditengarai sebagai asal mula nama Sokoliman. Sebagian telah dipindah dan dijadikan satu dengan kubur batu, sisanya masih terkubur di dalam tanah.
Bukti lainnya berupa arca kepala megalitik di sekitar kubur batu dan alun-alun. Patung tersebut dipahat dengan polos, tanpa hiasan apapun sehingga menunjukkan ciri dari zaman megalitikum. Peninggalan yang lain berupa kubur batu untuk mengubur jenazah yang terbuat dari beberapa lempengan batu dengan formasi dua di bagian samping dan satu di bagian bawah. Perlengkapan kubur yang ditemukan adalah anting-anting, gelang tangan, dan gelang kaki. Kubur batu tersebut terletak di Nginong, Mbangkan sekitar 300 m sebelah barat daya alun-alun Sokoliman. Punden berundak juga merupakan bagian dari Situs Sokoliman ini, yang letaknya 500 m sebelah utara dari kubur batu, dan berdekatan dengan sumber air yang terkenal dengan sebutan Sumber Gedhe. Punden berundak ini berfungsi sebagai tempat pemujaan. Kemudian Sumber Gedhe yang merupakan sumber air yang didesain oleh manusia pada jaman itu untuk mengambil air, tempat mandi, mencuci, memberi minum binatang piaraan, dan sebagainya. Sumur ini berusia sama dengan kubur batu yang digunakan oleh manusia purba. Di sekeliling sumber gedhe ini terdapat pohon-pohon besar, antara lain Pohon Epek raksasa dan Pohon Soka (Ditengarai juga sebagai asal mula nama Sokoliman). Pohon-pohon tersebut aneh yaitu tidak pernah bertambah besar, tinggi atau apapun, tetap sama.
Bagian lainnya berupa reruntuhan candi kuno. Berada di pinggir hutan kesambi, yang dikenal dengan komplek Watu Lumbung. Reruntuhan ini diperkirakan terbuat dari batuan putih dan berusia agak muda. Cirinya di tempat tersebut terdapat patung yang mendekati ciri-ciri Arca Durga Mahisa Suramardani, yakni Dewa Hindu yang mengendarai lembu.

Untuk menjelajahi ke tempat Situs Sokoliman ini tidaklah sulit. Dari arah Kota Wonosari kita menuju ke arah Bejiharjo melalui jalan beraspal, sesampai di Sokoliman nanti menuju lokasi agak masuk ke dalam dan jalan sampai di tempat situs sudah beraspal. Kalau nanti bingung, tanya saja penduduk setempat.
Situs dikelilingi dengan kawat berduri untuk menjaga dari segala hal yang mungkin terjadi (misalnya : pencurian, pemindahan tempat, pengrusakan, dan lain-lain). Dapat dibaca di papan peringatan yang terpasang.

Di sana kita dapat menemui Sang Juru Kunci situs ini yakni Bapak Gito, yang meneruskan tugas mulia dari orangtuanya yaitu Mbah Mento (alm). Untuk sekedar berbincang mengenai keberadaan situs ini.

Situs Gondang, Ngawis Karangmojo GK

Wilayah Gunung Kidul kaya peninggalan purbakala terutama dari zaman batu besar atau Megalitikum. Mayoritas dari situs bersejarah itu tetap terpelihara keamanan dan keasliannya meskipun minim pengamanan. Warga mengaku takut memindahkan peninggalan dari zaman purbakala karena adanya mitos kualat.

Warga Dusun Gondang, Desa Ngawis, Karangmojo, Gunung Kidul, Arjo Wito, mengemukakan, ayahnya, Mbah Porjo, meninggal dunia setelah mencoba memindahkan kubur batu atas perintah penjajah Belanda. Kala itu, Belanda sempat meminta warga menggali kubur batu untuk mencari bekal kubur berupa perhiasan manik-manik dan emas.

Semenjak kematian warga akibat memindahkan kubur batu, warga di Dusun Gondang mengaku tidak berani memindahkan atau merusak peninggalan purbakala. Selain batu menhir dan kubur batu yang telah ditata di dalam kompleks Situs Gondang seluas 400 meter persegi, peninggalan kubur batu dari zaman purbakala ini masih banyak terserak di lingkungan rumah ataupun sawah milik penduduk.

Menurut Arjo Wito, banyaknya batuan yang terserak di Dusun Gondang itu jika dikumpulkan bisa lebih dari satu truk. Selain peninggalan berupa batu kubur seperti batu tegak (menhir), fragmen menhir, dan kubur batu, warga sempat menemukan aneka bekal kubur seperti cincin atau gelang emas. ”Kami tidak berani merusak karena takut kena tulah (bala),” ujar istri Arjo Wito, Sukinah, Selasa (28/7).

Pada era tahun 1970-an, Arjo Wito dan Sukinah pertama kali menemukan kubur batu yang menyembul di ladang tadah hujan milik mereka. Setelah beberapa kali dikunjungi tim peneliti arkeologi, areal ladang tersebut kemudian dibeli oleh pemerintah. Pada tahun 1996, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DI Yogyakarta mulai memagari Situs Gondang dengan kawat dan besi. Hingga kini, Arjo Wito bekerja sebagai juru pelihara Situs Gondang.

Kuburan Budho

Meskipun kaya situs purbakala, masyarakat Gunung Kidul sama sekali tidak memiliki bekal pengetahuan tentang sejarah peninggalan tersebut. Mereka umumnya menyebut kubur batu itu sebagai kuburan Budho (umat Buddha). ”Kami turut menjaga karena situs ini adalah kekayaan daerah. Tetapi, warga sama sekali tidak tahu sejarah dari kuburan Budho ini,” ungkap beberapa warga seperti Purwanto dan Sastro Sakim.

Tidak adanya papan petunjuk tentang sejarah dan umur situs tak hanya terjadi di Situs Gondang, melainkan juga di Situs Sokoliman yang teletak beberapa ratus meter dari Situs Gondang di Dusun Sokoliman, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, umur kedua situs ini diperkirakan 3000 tahun sebelum Masehi.

Pada tahun 1934, peneliti Jl Moens dan Van der Hoop meneliti dan menemukan bekal kubur berbentuk manik-manik, alat besi, fragmen gerabah, dan benda-benda perunggu di wilayah Karangmojo tersebut. (WKM)